Kata Hati, Edelweis yang Menggoda dan Tergoda

Table of Contents
Setelah lama jemari tidak berjentik meninggalkan jejak menyenangkan dan menyedihkan diantara serentetan keyboard nan empuk renyah, di waktu ini rasanya sangat tepat. Tepat dikala kelaparan ruhani, kegersangan mental, dan kekeringan air ludah.

Pada kesempatan kali ini, rasanya telah hampir puncak dimana beberapa puncak lain telah terlampui hanya demi menemukan satu puncak tertinggi. Puncak tertinggi mulai muncul di depan jauh, sebaliknya semakin menenggelamkan puncak tinggi lain yang berderet tak beraturan di belakang. Mata menatap tajam ke depan, sayangnya kabut tebal menutui jarak pandang. Dengan sisa harapan dan tenaga langkah demi langkah menapaki sisi tebing, menuju puncak yang gelap tertutup kabut. Belum juga menemukan puncak, hampir setengah jam berjalan hanya berjumpa dengan kabut, rumput gunung, kedinginan, kehampaan, sesekali usapan angin gunung menampar seakan merapuhkan harapan.

Saya berhenti sejenak, bersandar pada sisi tepi tebing menghadap jauh ke depan. Di depan tidak terlihat sedikit sinar matahari hanya kabut tebal , di bawah Nampak  menurun jurang yang terlihat dasarnya. Saya ambil air mineral dari tas ransel, seteguk dua teguk meruntuhkan kepenatan dan menjernihkan niat murni untuk menemukan puncak.

Saya pun kembali melangkah, baru saja melangkah 3 langkah saya dikejutkan dengan bunga edelweiss yang merekah menawan berjarak 1 meteran di bawah tebing. Saya berhenti, berjongkok sambil memandangi keindahannya, tangan saya ulurkan berharap bisa meraih dan membawanya pulang nanti. Berkali-kali berusaha meraihnya ternyata tangan saya tidak cukup panjang, sudahlah mungkin hanya jatah saya untuk memandangnya tanpa mungkin mencabutnya.

Berdiri saya sambil mengkibaskan tanah yang menempel di tubuh saya, menatap ke depan melanjutkan langkah-langkah menuju kegelapan kabut yang hanya bisa terlihat isinya ketika didekati.

Post a Comment